B. POKOK PEMBAHASAN
1. Pengertian
a. Pengertian interaksi simbolik
secara etimologi
Pengertian
interaksi dalam kamus bahasa Indonesia adalah saling mempengaruhi , saling
menarik, saling meminta dan memberi.[1]Dalam
bahasa inggris disebut interaction[2]
yang dalam kamus ilmiah berarti pengaruh timbal balik, saling mempengaruhi satu
sama lain[3].
Sedangkan simbolik dalam kamus bahasa indonesia berarti perlambangan, dan dalam
bahasa inggris disebut symbolic yang dalam kamus ilmiah berarti perlambangan,
gaya bahasa yang melukiskan suatu benda dengan mempergunakan benda-benda lain
sebagai simbol atau pelambang.
b. Pengertian interaksi dan simbolik
secara terminologi
Interaksionisme
simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap
realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah
fenomenologi.[4]
Interaksionisme
simbolik (IS) adalah nama yang diberikan kepada salah satu teori tindakan yang
paling terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah pernyataan-pernyataan seperti
“definisi situasi”, “realitas dimata pemiliknya”, dan “jika orang
mendefinisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam
konsekuensinya”, menjadi paling relevan. Meski agak berlebihan, nama IS itu
jelas menunjukkan jenis-jenis aktifitas manusia yang unsur-unsurnya memandang
penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial.[5]
2. Kontruksi
Teori Interaksionisme Simbolis
a. Sifat-sifat
Teori interaksionisme simbolik dikonstruksikan
atas sejumlah ide-ide dasar. Ide dasar ini mengacu pada masalah-masalah kelompok manusia atau masyarakat,
interaksi sosial, obyek, manusia sebagai pelaku, tindakan manusia dan
interkoneksi dari saluran-saluran tindakan. Secara bersama-sama, ide-ide
mendasar ini mepresentasikan cara dimana teori interaksonalisme simbolik ini
memandang masyarakat mereka memberikan perangkat kerja pada ilmu sekaligus
menganalisisnya. Secara singkat kita akan mempelajari kerangka-kerangka itu:
1.
Sifat masyarakat
Secara mendasar, masyarakat atau
kelompok-kolompok manusia berada dalam tindakan dan harus dilihat dari segi
tindakan pula. Prinsip utama dari teori interaksionisme simbolis adalah apapun
yang berorientasi secara empiris atas masyarakat manusia, dan darii mana pun
asalnya, haruslah memperhatikan kenyataan bahwa masyarakat manusia tersebut
terdiri dari orang-orang yang sedang bersama-sama dalam sebuah aksi sosial
manusia.[6]
2.
Sifat interaksi social
Menurut Tri Dayakisni
Hudaniah yang mengutip dalam buku Bimo Walgito Interaksi sosial merupakan suatu hubungan
antara individu satu dengan individu lainnya dimana individu yang satu dapat
mempengaruhi individu lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbal
balik. Sementara dalam buku Soekanto
yang dikutip oleh Tri Dayakisni mendefinisikan
interaksi sosial sebagai hubungan antar orang per orang atau dengan kelompok
manusia.[7]
Masyarakat merupakan bentukan dari interaksi
antar individu. Teori interaksionisme melihat pentingnya interaksi sosial
sebagai sebuah sarana ataupun sebagai sebuah penyebab kspresi tingkah laku manusia.
3.
Ciri-ciri Obyek
Posisi teori interaksionisme simbolik adalah
bahwa “dunia-dunia” yang ada untuk manusia dan kelompok-kelompok mereka adalah
terdiri dari obyek-obyek sebagai hasil dari interksi simbolis. Sebuah obyek
adalah sesuatu yang dapat diindikasikan atau di tunjukkan. Obyek yang sama
mempunyai arti yang berbeda-beda untuk individu yang berbeda pula. Dari proses
indikasi timbal balik, obyek-obyek umum bermunculan. Obyek-obyek yang memiliki
arti yang sama bagi sekelompok manusia, akan dipandang dengan cara yang sama
pula oleh mereka.[8]
4.
Manusia sebagai makhluk bertindak
Manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial sejak ia
dilahirkan, ia membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan biologisnya, yaitu makanan, minuman dan lain-lain.[9]
Teori
interaksionisme simbolis memandang manusia sebagai makhluk sosial dalam suatu
pengertian yang mendalam, yakni suatu makhluk yang ikut serta dalam
berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri dengan membuat indikasi sendiri, dan
memberikan respon pada sejumlah indikasi. Dalam pengertian ini, manusia sebagai
makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri,
bukanlah makhluk yang hanya merespon saja, akan tetapi makhluk yang bertindak
atau beraksi, sebuah makhluk yang harus mencetak sederetan aksi berdasarkan
pada perhitungan, tidak hanya berfungsi melepaskan respon pada interaksi sosial
yang ada.
5.
Sifat aksi manusia
Manusia individual adalah manusia yang
mengartikan dirinya dalam dunia ini agar bertindak. Tindakan atau aksi bagi
manusia terdiri dari perhitungan berdasarkan berbagai hal yang ia perhatikan
dan penampakan sejumlah tindakan berdasarkan pada bagaimana dia
menginterpretasikannya. Dalam berbagai hal tersebut, sesorang harus masuk ke
dalam proses pengnalan dari pelakunya agar mengerti tindaka atau aksinya
pandagan ini berlaku juga untuk aksi bersama atau kolektif dimana sejumlah
individu ikut di perhitungkan. Aksi bersama adalah hasil dari sebuah proses
interaksi yang interpretatif.
6.
Pertalian aksi
Aksi bersama dari situasi-situasi baru, muncul
dalam sebuah masyarakat yang “bermasalah”, dimana peraturan-peraturan yang ada
tidak mencukupi. Proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan
menegakkan kehidupan kelompok. Aksi bersama mengacu pada aksi-aksi yang merubah
sangat banyak kehidupan kelompok manusia. aksi bersama tidak hanya menyajikan
pertalian horisontal tetapi juga pertalian vertikal denan aksi bersama
sebelumnya.[10]
b. Orientasi
Metodologis
Adalah benar bahwa seseorang akan dapat mendekati
dunia sosial empiris dan
menggali kedalamannya sejauh ia menghendaki. Proses itu membutuhkan riset yang
cermat dan jujur, imajinatif dan kreatif, disiplin dan tekun, proses yang nalar
dan kelenturan dalam pemikiran. Di samping itu, riset tersebut juga harus
secara hati-hati mempertimbangkan penemuan orang lain. Disini di butuhkan
adanya kesediaan terus menerus untuk menguji dan menyusun kembali
pandangan-pandangan orang atas bidang keilmuan tertentu. Meski bukan berarti
jika tidak mengikutai prosedur yang baku, lantas disebut sebagai penelitian
yang lentur. Menurut Blumer teori interaksionisme simbolis telah di dekati dengan dua pendekatan utama,
yakni eksplorasi dan inspeksi. Berangkat dari kedua pendekatan di atas,
beberapa implikasi metodologis para ahli teori interaksionisme simbolis
terhadap kehidupan kelompok dan aksi sosial dapat kita lihat pada empat hal:
1)
Individu, baik sendiri-sendiri maupun bersama,
siap bertindak berdasarkan obyek-obyek yang ada dalam dunia mereka. Hal ini
memiliki implikasi metodologis yang mendalam, sebab ini serta merta berarti
bahwa jika ilmuan tersebut ingin memahami aksi seseorang maka harus melihat
obyeknya sebagaimana ilmuan tersebut melihat mereka.
2)
Kolektifitas manusia haruslah dalam bentuk
sebuah proses dimana mereka membuat tanda-tanda satu sama lain, dan saling
mengartikan tanda-tanda tersebut. Ini berarti bahwa masing-masing tingkah laku
harus dibangun dari sudut pandang tingkah laku orang lain dengan sipa mereka
berinteraksi.
3)
Tindakan-tindakan sosial secara sendiri-sendiri
atau bersama, dibangun melalui sebuah proses dimana para pelaku memperhatikan,
mengartikan dan memperhitungkan atau menilai situasi yang menghadang mereka.[11] Uraian George Mead selanjutnya tinkah laku sosial dapat
pula berasal dari status sosial ekonomi individu dimana status sosial ekonomi
mengandung tuntutan tingkah laku sosial tertentu dan harus dipenuhi oleh
individu yang bersangkutan. Misal tingkah laku kepala sekolah di masyarakat
harus lebih baik dari tingkah laku anggota masyarakat umum atau kebanyakan.[12]
4)
Tindakan-tindakan pertalian komplek yang ada
dalam organisasi atau institusi tertentu dimana bagia struktur berada dalam
kondisi saling ketergantungan merupakan sesuatu yang terus-menerus bergerak,
dan bukanlah masalah yang statis. Teori interaksionisme simbolis melihat
organisasi yang bersifat sosial seperti itu merupaka bentuk tersendiri dari
orang-orang yang dipersatukan dalam aksi-aksi mereka sendiri.[13]
c. Interaksionalisme
Simbolik: Prinsip-prinsip Dasar
Tidak
mudah menggolongkan pemikiran ke dalam teori dalam artian umum karena seperti
dikatakan Paul Rock, pemikiran ini “sengaja dibangun secara samar” dan
merupakan “resistensi terhadap sistemasisasi”. Ada
beberapa perbedaan signifikan dalam interaksionalisme simbolik. Menurut Dauglas Goodman yang mengutip dari beberapa
tokoh interaksionalisme simbolik Blumer, Meltzer, Rose, dan Snow
telah mencoba menghitung jumlah prinsip dasar teori ini, yang meliputi[14]:
- Tak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir.
- Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.
- Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khusus itu.
- Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi.
- Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi.
- Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative mereka, dan kemudian memilih satu di antara serangkaian peluang tindakan itu.
- Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat.
3.
Riwayat hidup tokoh
a)
Chales Horton
Cooley
Charles H. Cooley lahir 17
Agustus 1864 di Ann Arbor, Michigan, Amerika Serikat. Hanya untuk beberapa
waktu, hampir seumur hidupnya ia habiskan dengan tetap berada di Ann Arbor.
Kemudian, belajar di Universitas Michigan da mengajar di almamaternya. Disertai
doktoralnya berjudul Teori Transportasi (the theory of transportation).
Gagasan ini sesungguhnya merupakan sebuah studi yang merintis jalan pada
pendekatan human ecology yang dikembangkan akademisi-akademisi Chicago
school. Cooley tidak tertarik dengan human ecology, malahan ia meninggalkan
kajian itu dan menekuni elemen-elemen psikologis dalam fenomena sosiologi.
Kemudian, sebagai guru ia
meninggalkan jejaknya pada ilmu sosial Amerika, yakni pada sosiologi, psikologi
sosial, dan ekonomi institusional. Tetapi, ia menghindari kebiasaan kontemplasi
tenang, misalnya, menolak gelar profesor pada Universitas Columbia dalam
“megalopolis” New York yang berisik. Sekalipun ia mau mengabdi (dengan malas) sebagai
presiden American Sociological Association (ASA) tahun 1918. Kemudian,
dari tahun ke tahun, pekerjaan praktis Cooley adalah menyumbangkan
konsep-konsep kepemimpinan dalam perjuangan organisasi buruh dan penelesaian
perumahan.[15]
Dia merupakan sosiolog yang memandang bahwa
hidup manusia secara sosial ditentukan oleh bahasa, interaksi dan pendidikan.
Secara biologis, manusia tak berbeda satu sama lain, tetapi secara sosial tentu
sangat berbeda. Perkembangan historis telah mengakibatkan bentuk-bentuk
masyarakat yang berbeda-beda. Setiap masyarakat harus dipandang sebagai
keseluruhan organis, dimana individu merupakan bagian yang tak terpisahkan.
Dalam pandangan Cooley, individu ada berkat proses berlanjut hidup secara
biologis dan sosial. Sebaliknya, masyarakat sangat terkantung dari individu,
karena individu itulah yang menyumbangkan sesuatu pada kehidupan bersama.
Kehidupan manusia merupakan satu kesatuan. Individu dan masyarakat bukanlah
relitas-realitas yang terpisah, melainkan merupakan aspek-aspek distributif dan
kolektif dari gejala yang sama. Dengan
demikian, antara individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari realitas yang
sama. Keduannya ibarat dua sisi dari satu mata uang.
Cooley
mengatakan bahwa masyarakat dan individu bukanlah dua relitas yang berdiri
secara terpisah, melainkan dua sisi dari relitas yang satu dan sama. Realitas
tunggal adalah hidup manusia. Hidup itu agar dipandang dari segi
individualitasnya, atau dari segi sosialnya, dari segi keunikannya, sejauh pada
setiap individu ada hal yang tidak ada dalam orang lain. Sedangkan pembedaan
antara individualitas dan masyarakat (sosial) dilakukan oleh akar budi manusia
itu sendiri.[16]
Dalam Human Nature and the
Social Order, menguraikan beberapa istilah dalam ilmu sosial yang kerap saling
bertentangan.misalnya kemauan sendiri (free choice) dan peraturan
masyarakat (Social Suggestion). Dari sini kita juga memahami bahwa istilah
ini memberi kesan seakan-akan ada oposisi antara kebebasan dengan kewajiban;
antara otonomi individu dengan hegemoni dstruktur-struktur masyarakat. Kita
menggunakan peristilahan yang memberikan pengertian bahwa seakan-akan “di luar
sana” ada sesuatu yang benar-benar bebas. Padahal dalam kenyataan tak ada sama
sekali wilayah ehidupan manusia yang bisa dilepaskan dari masyakat yang di
dalamnya penuh dengan peraturan-peraturan.
Dalam hal ini Colley mengatakan
bahwa perbedaan antara kemauan sendiri dengan kemauan masyarakat tidaklah
bersifat sebagai suatu antitesis. Dalam hal ini kita tidak bisa serta merta
mengatakan bahwa suatu perbuatan itu “dikehendaki oleh masyarakat” atau
dikehendaki sendiri “. Sebaliknya, social suggestionand free choice
adalah hubungan yang saling mengendalikan dan hanya merupakan saat-saat yang
berlainan dalam proses adanya perbuatan manusia. Sehingga bisa dikatakan bahwa
perbuatan itu tidak pernah berada dalam suatu kondisi creatio ex nihilio,
akan tetapi selalu merupakan suatu penyusunan unsur-unsur sosial yang sudah ada
sebelumnya.
Sedangkan diantara istilah-istilah
sosial yang dalam bahasa abstraknya aling men olak, namun dalam praktik
nyatannya saling mengadaikan dan melengkapi adalah egoisme dan altruisme. Yang
satu selalu mengandung yang lain, dan yang lain selalu mengandung yang satunya.
Tak pernah ada egoisme yang mutlak dari dirinya sendiri, dan sama sekali tidak
membutuhkan bantuan atau kehadiran orang lain. Mengapa demikian? Veeger
mengatakan bahwa, pertama, kesadaran diri sebagai ego berasal dari kontrak
dengan orang lain, dan kedua, apa saja yang ada pada diri individu telah diterima
oleh orang lain, dan masih terus akan di bagi bersama demikian logika yang sama
juga menimpa altruisme. Altruisme berasal dari kata alter yang berarti yang
lain. Tidak ada altruisme yang mutlak dan menyeluruh.
Dengan demikian, ucapan termasyhur
dari Rene Descartes bahwa cogiti ergo sum (saya berpikir maka saya ada) adalah
sesuatu yang salah.[17]
Di sisi lain, dalam analisisnya
mengenai pertumbuhan sosial individu, Cooley mengacu pada gagasan wiliam james
tentang konsep “diri sosial”. Konsep “diri” seseorang dipahami sebagai bayangan
yang menurut dirinya dimiliki oleh orang lain (tentang dirinya tersebut).
Sehingga bisa dikatakan bahwa seseorang melihat dirinya melalui mata orang
lain.
Inilah yang kemudian oleh Cooley
disebut sebagai looking-glaas self, yang didalamnya terdapat tiga unsur yang
dapat dibedakan yakni:
1.
Bayangan mengenai bagaimana orang lain melihat
diri kita
2.
Bayangan mengenai pendapat yang dipunyai oleh
orang lain mengenai diri kita
3.
Rasa-diri yang bisa bersifat positif maupun
negatif.
Bagi Cooley, “diri” itu dikonstruksikan ke
dalam kelompok primer (primary groups). Kelompok ini memiliki pengaruh yang
sangat mendasar, seperti yang terdapat dalam sebuah keluarga ataupun lingkungan
teman-teman dekat. Dalam kehidupan primary groups ini terdapat hubungan face to face dan ke-‘kita’-an yang kuat.[18]
b)
George Herbert Mead
George Herbert Mead
dilahirkan di South Hadley, Massachussetts, Amerika pada 27 Februari 1863, anak
dari seorang pendeta (clergyman, minister). Ayahny, Hiram Mead, adalah
pendeta gereja kongregasional dan juga mengajar di seminari teologi di Oberlin,
Ohio. Sementara itu Ibunya, Elizabeth Storrs Billings, adalah perempuan
berpendidikan yang mengajar di Oberlin College selama dua tahun, kemudian
menjadi presiden di Mount holyoke College selama 10 tahun.
Ketika berumur 7 tahun,
George H. Mead masuk Fakultas Teologi di Oberlin College di Ohio, dan selesai
tahun 1883. Ketika menjadi mahasiswa di sini, Mead berteman secara baik dengan
Henry Castle, seorang yang berasal dari keluarga kaya, keluarga yang
berpendidikan baik, yang memiliki tanah luas dan pengaruh politik di Hawai.
Selama kuliah, keduanya banyak berdidkusi tentang filsafat dan agama sehingga
menjadi semakin kritis pada kepercayaan yang bergantung pada konsepsi
supranatural. Mereka juga mengembangkan cukup luas tentang sastra, puisi, dan
sejarah.[19]
Dia merupakan pengaruh terpenting bagi Blumer,
sosiolog selanjutnya dalam teori interaksionisme simbolik yang terkenal melalui
bukunya, mind, self and society dan beberapa buku selanjutnya merupakan
karya penting Mead. Mead memperkenalkan dialektika hubungan antara manusia
dengan manusia dan manusia dengan alam. Bagi Mead, individu merupakan makhluk
yang sensitif dan aktif. Keberadaan sosialnya sangat mempengaruhi bentuk
lingkungannya (secara sosial maupun dirinya sendiri) secara efektif, sebagaimana lingkungan
mempengaruhi kondisi sensitivitas dan aktifitasnya. Mead menekankan bahwa
individu itu bukanlah merupakan “budak masyarakat”. Dia membentuk masyarakat
sebagaimana masyarakat membentuknya.
Bagi Mead, tertib masyarakat
akanterjadi manakala ada komunikasi yang dipraktikkan melalui simbol-simbol.
Untuk menjelaskan sifat spesifik komunikasi ini, maka komunikasi antar manusia
harus di bandingkan dengan komunikasi antar hewan.
Gambaran mead yang terkenal dalam
hal ini adalah mengenai anjing yang berkelahi. Setiap isyarat seekor anjing
merupakan stimulasi bagi munculnya respon anjing lainnya. Demikian pula
sebaliknya, sehingga akan terjadi saling memberi dan menerima. Anjing-anjing itu menyatu dalam “perbincangan
isyarat”. Meski isyarat-isyarat itu sendiri bukan merupakan suatu yang berarti
, sebab isyarat itu tak membawa makna. Anjing-anjing tiu bersiap dan
mengantisipasi posisi yang lain secara spontan.[20]
c)
John Dewey
John
Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik sosial
yang lahir di Burlington, Vermont 20 Oktober 1859.
Dewey kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa
yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas
Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan
kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar
doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas
terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang
menggagas munculnya pragmatisme. Walaupun demikian, pengaruh terbesar darang
dari guru dan sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis. Dari tahun 1884 samai
1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun
1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang
sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat.
Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago
yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan
sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari
tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory
School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat
penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di
sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis
sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan
tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti,
ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan
pemecahan masalah. Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya
pemikiran idealisme yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi
selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan
etika.[21]
Dia merupakan pemikir yang terkenal dengan
filsafat instrumentalis-nya. Filsafat instrumentalis merupakan pandangan yang
melihat bahwa antara etika dan ilmu, teori dan praktik, berpikir dan bertindak,
putusan faktual dan putusan evaluatif; adalah dua hal yang selalu menyatu dan
tidak terpisahkan satu dengan lainya.
Misalnya, tidak ada alasan bagi
orang untuk mempertanyakan soal value-free science. Prinsip itu
berlandaskan pada suatu teori pengenalan, yang tidak memahami pikiran manusia
sebagai fotocopy atau pencerminan dunia luar, melainkan sebagai hasil dari
kegiatan manusia itu sendiri. Manusia terlibat aktif dalam proses pengenalan.
Dia memandang kesadarannya pada hal-hal yang ada dari luar. Dia
mempermasalahkan hal-hal atau benda itu. Dia bertanya-tanya, apa arti mereka ;
bagaimana memahami mereka; apa yang harus dibuat sehubungan dengan mereka
sesungguhnya. Sebelum dia menentukan sikap dan perbuatannya terhadap mereka,
dia melakukan sebagai pertimbangan dan menilainya, untuk kemudian memilih dari
berbagai kemungkinan dalam bertindak. Dalam proses yang bersifat aktif ini, fikiran
manusia tidak hanya berperan sebagai ‘’instrumen’’, melainkan juga menjadi
bagian dari sikap manusia.
Teori pengenalan ini
menghasilkan suatu citra manusia yang dinamis, anti deterministik dan dengan
optimisme. Manusia tidak secara pasif menerima begitu saja pengetahuannya dari
luar, tapi sebaliknya secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan
dan tindakannya. Lingkungan soial dan situasi tertentu di mana seseorang hidup
tidak sampai pada tingkat yang mendeterminasi dirinya, tapi merupakan
kondisi-kondisi terhadap bagaimana dia menentukan sikapnya. Gambaran manusia
yang demikian ini mengendalikan kepercayaan akan kemampuan manusia, yang
mendasari optimisme.[22]
d)
Herbert Blumer
Herbert Blumer lahir 7
Maret 1900, di St. Louis, Missouri. Ia bekarier di Fakultas Sosiologi pada
Universitas Chicago tahun 1927-1952. Blumer adalah murid dari George H. Mead,
yang juga mengajar di Universitas Chicago. Setelah Mead meninggal di tahun
1931, Blumer banyak mengganti posisi gurunya tersebut. Tidak heran jika gagasan
Blumer banyak mengacu pada tradisi keilmuan yang telah dirintis oleh gurunya
itu. Tidak main-main, waktu Blumer untuk mengembangkan gagasan Mead sampai 25
tahun.
Menariknya, selam era
Chicago, selain aktif menekuni keilmuan, ia juga sempat melakukan
kegiatan-kegiatan lain, seperti bermain sepak bola profesional, sebagai
mediator dalam perselisihan perburuhan, dan mewawancarai tokoh-tokoh jahat pada
sebuah gang. Penghargaan tertinggi sesuai dengan profesi saat Blumer menjadi
redaktur dari American jurnal of sociology dari tahun 1941-1952. Juga, sebagai
Presiden American sociological Association (ASA) pada tahun 1956.
Menurut Rachmad K. Dwi
Susilo yang mengutip dalam buku Gordon Marshall Bisa dicatat bahwa sumbangan
penting Blumer adalah kegetolannya dalam mengembangkan pendekatan/perspektif
interaksionisme simbolik dalam sosiologi Amerika. Beberapa penulis mengatakan
bahwa yang menciptakan istilah interaksionisme simbolik (symbolic
interactionism) adalah Blumer. Menurut Rachmad yang mengutip dalam bukunya
Ruth. A. Wallace dan Alison Wolf, Dengan mengembangkan beberapa konsep penting,
seperti penafsiran (interpretation), struktur dan proses, dan
metodologi, kajian tentang interaksi yang diantarai penafsiran dan simbol
terasa menjadi lebih hidup.[23]
Seperti dikatakan di muka,
bahwa Blumer lebih banyak dipengaruhi oleh Mead dalam berbagai gagasan
psikologi sosial-nya mengenai teori
interaksionisme simbolik. Kendatipun demikian, seorang blumer tetap
memiliki kekhasan-kekhasan dalam pemikirannya, dan terutama ia mampu membangun
suatu teori dalam sosiologi yang berbeda dengan “gurunya”, Mead. Pemikiran blumer pada akhirnya memiliki
pengaruh yang cukup luas dalam berbagai riset sosiologi. Bahkan blumer pun
berhasil mengembangkan teori ini sampai pada tingkat metode yang cukup rinci.
Teori interaksionisme simbolis yang dimaksud blumer bertumpu pada tiga premis
utama:
·
Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan
makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
·
Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial
yang dilakukan dengan orang lain.
·
Makna-makna tersebut disempurnakan disaat
proses interaksi sosial sedang berlangsung.[24]
Teori
interaksionisme simbolis merujuk pada karakter interaksi khusus yang
berlangsung antar manusia. Aktor tidak semata-mata beraksi terhadap tindakan yang lain, tetapi
dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor
secara langsung maupun tidak, selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut.
Oleh karena itu, interaksi manusia di jembatani oleh penggunaan simbol-simbol
penafsiran atau dengan menamukan makna tindakan orang lain.
Dalam
konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir,
mengelompokkan dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi
dimana dan kemana arah tindakannya. Sebenarnya, interpretasi harus tidak di
anggap hanya sebagai penerapan makna-makna yang dipakai dan disempurnakan
sebagai instrumen bagi pengarahan dan pembentukan tindakan. Blumer mengatakan
bahwa individu bukan di kelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang
mempermainkannya dan memebentuk perilakunya. Gambaran yang benar ialah ia
membentuk obyek-obyek itu.
Dalam
pada itu, maka individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda,
memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan dan mengambil keputusan
berdasarkan penilaian tersebut. Inilah yang dimaksud dengan penafsiran atau
bertindak berdasarkan simbol-simbol.
Dengan
begitu, manusia merupakan aktor yang sadar dan reflektif, yang menyatukan
obyek-obyek yang di ketahuinya melalui apa yang disebut Blumer sebagi self
indication. Self indication adalah proses komunikasi yang sedang
berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna dan
memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu. Proses self indication
ini terjadi
dalam konteks sosial dimana individu mencoba “mengantisipasi” tindakan-tindakan
orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan
itu.[25]
C. ANALISIS
Menurut
kami interaksi simbolik adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antar
manusia dapat diketahui melalui simbol yang di bangun oleh setiap individu. Dan
pengaruh dari penilaian kita melalui simbol yang diberikan kepada orang lain
bisa berpengaruh positif dan negatif tergantung dari interpretasi individu
masing-masing.
Kami
sependapat dengan John Dewey yang menyatakan bahwa manusia tidak secara pasif
menerima begitu saja pengetahuannya dari luar, karena pengetahuan individu di
dapatkan dari pengalaman yang di alami oleh individu tersebut. Menurut Cooley
individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari realitas yang sama. Keduannya
ibarat dua sisi dari satu mata uang. Cooley mengacu pada gagasan wiliam james
tentang konsep “diri sosial”. Konsep “diri” seseorang dipahami sebagai bayangan
yang menurut dirinya dimiliki oleh orang lain (tentang dirinya tersebut).
Sehingga bisa dikatakan bahwa seseorang melihat dirinya melalui mata orang
lain. Sedangkan Mead memperkenalkan dialektika hubungan antara manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam. Bagi Mead, individu merupaka makhluk yang
sensitif dan aktif. Keberadaan sosialnya sangat mempengaruhi bentuk
lingkungannya (secara sosial maupun dirinya sendiri). Secara efektif,
sebagaimana lingkungan mempengaruhi kondisi sensivitas dan aktifitasnya. Mead
menekankan bahwa individu itu bukanlah merupakan “budak masyarakat”. Dia
membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat membentuknya. Bagi Mead tertib
masyarakat akan terjadi manakala ada komunikasi yang dipraktikan melalui
simbol-simbol.
Begitu
juga dengan Blumer yang banyak mengembangkan pemikiran-pemikiran Mead.
Bahwasanya teori interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis:
a.
Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan
makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
b.
Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial
yang dilakukan dengan orang lain.
c.
Makna-makna tersebut disempurnakan disaat
proses interaksi sosial sedang berlangsung.
D. KESIMPULAN
1. Pengertian interaksi dalam kamus
bahasa Indonesia adalah saling mempengaruhi , saling menarik, saling meminta
dan memberi. Dalam bahasa inggris disebut interaction yang dalam kamus ilmiah
berarti pengaruh timbal balik, saling mempengaruhi satu sama lain. Sedangkan
simbolik dalam kamus bahasa indonesia berarti perlambangan, dan dalam bahasa
inggris disebut symbolic yang dalam kamus ilmiah berarti perlambangan, gaya
bahasa yang melukiskan suatu benda dengan mempergunakan benda-benda lain
sebagai simbol atau pelambang. Secara terminologi Interaksionisme Simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang
berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme
simbolik adalah fenomenologi.
2.
Teori interaksionisme simbolik dikonstruksikan
atas sejumlah ide-ide dasar. Ide dasar ini mengacu pada masalah-masalah kelompok manusia atau masyarakat,
interaksi sosial, obyek, manusia sebagai pelaku, tindakan manusia dan
interkoneksi dari saluran-saluran tindakan. Secara bersama-sama, ide-ide
mendasar ini mepresentasikan cara dimana teori interaksonalisme simbolik ini
memandang masyarakat mereka memberikan perangkat kerja pada ilmu sekaligus
menganalisisnya. Secara singkat kerangka-kerangka itu diantaranya adalah sifat masyarakat, sifat interaksi
social, ciri-ciri obyek,manusia sebagai makhluk bertindak, sifat aksi manusia
dan pertalian aksi. Beberapa implikasi metodologis para ahli teori
interaksionisme simbolis terhadap kehidupan kelompok dan aksi sosial dapat
diketahui pada empat hal, yang pertama individu, kedua kolektifitas manusia,
ketiga tindakan sosial secara sendiri-sendiri atau bersama, keempat
tindakan-tindakan pertalian komplek. Yang selanjutnya mengenai Prinsip-prinsip
dasar teori interaksi smbolik yang pertama: tak seperti binatang, manusia
dibekali kemampuan untuk berpikir. Kedua: Kemampuan berpikir dibentuk oleh
interaksi sosial. Ketiga Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan
simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang
khusus itu. Keempat: Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan
khusus dan berinteraksi. Kelima: Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang
mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka
terhadap situasi. Keenam: Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan
perubahan, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka
sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai
keuntungan dan kerugian relative mereka, dan kemudian memilih satu di antara
serangkaian peluang tindakan itu. Ketujuh: Pola tindakan dan interaksi yang saling
berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat.
3.
Dalam teori
interaksionisme simbolik ada beberapa tokoh yang berperan penting di dalamnya.
Mulai dari John Dewey, George Herbert Mead, Chales Horton Cooley dan Herbert
Blumer. John dewey adalah seorang filusuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik
sosial yang lahir di Burlington, Vermont tahun 1859. Selain itu dia merupakan
pemikir yang terkenal dengan filsafat instrumentalis-nya. Pendapat beliau
bahwasannya sebelum dia menentukan sikap dan perbuatannya terhadap orang lain,
dia melakukan sebagai pertimbangan dan menilainya, untuk kemudian memilih dari
berbagai kemungkinan dalam bertindak. Dalam proses yang bersifat aktif ini,
fikiran manusia tidak hanya berperan sebagai instrumen melainkan juga menjadi
bagian dari sikap manusia. Cooley dilahirkan dikota Ann Arbor, di negara bagian
Michigan, Amerika Serikat. Beliau lahir
pada tahun 1864, Cooley lebih menekankan bahwasannya seseorang melihat dirinya
melalui mata orang lain perbedaanya dengan Mead kalau bagi Mead, tertib
masyarakat akan terjadi manakala ada komunikasi yang dipraktikkan melalui
simbol-simbol. Mead terlahir di South Hadley, Massachusetts, pada 27 Februari
1863. Mead yang mendalami filsafat dan penerapannya pada psikologi sosial.
Tokoh yang selanjutnya yakni Herbert Blumer yang banyak mengembangkan
pemikiran-pemikiran George Herbert Mead. Bagi Blumer manusia bertindak bukan hanya
faktor eksternal (fungsionalisme struktural) dan internal (reduksionis
psikologis) saja, namun individu juga mampu melakukan self indication
atau memberi arti, menilai, memutuskan untuk bertindak berdasarkan referensi
yang mengelilinginya itu. Pada dasarnya tindakan manusia itu terdiri dari
pertimbangan atas berbagai hal. Metode empiris Blumer lewat pengamatan (inquiry),
penjelajahan (exploration), dan pemeriksaan (inspection). Blumer
menekankan pada aspek kemanusiaan (humanis) yang unik dan berbeda satu sama
lain, memiliki cita, rasa, karsa, serta multi variat.
Daftar Rujukan
Soeprapto, Riyadi. 2001. Interaksionisme Simbolik
perspektif sosiologi modern. Malang: Averroes Press
Daryanto, 1997. kamus bahasa indonesia lengkap,
Surabaya: Apollo
M. Echols, John, Hassan Shadily, 2005. kamus
inggris indonesia, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama
Jones, Pip. 1979 pengantar teori-teori sosial,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Goodman, Douglas. J. 2007. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Agustin, Risa. kamus ilmiah populer. Surabaya:
Serba Jaya
Hudaniah, Tri Dayakisni. 2009. psikologi
sosia.,Malang: UMM Press
Gerungan, 2009. psikologi sosia. Bandung:
Refika Aditama
Santoso, Slamet. 2010. teori-teori psikologi
sosial. andung: Refika Aditama
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1674/1/etnomusikologi-arifni.pdf://nikolassutrisno.blogspot.com/2010/11/interaksionisme-simbolik.html
[1] Daryanto, kamus bahasa indonesia
lengkap, surabaya: Apollo,1997 hlm:286
[2] John M. Echols & Hassan Shadily, kamus
inggris indonesia, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005 hlm:327
[3] Risa Agustin, kamus ilmiah populer,(surabaya:
serba jaya) hlm.489
[4] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1674/1/etnomusikologi-arifni.pdf://nikolassutrisno.blogspot.com/2010/11/interaksionisme-simbolik.html
[5] Pip Jones, pengantar teori-teori sosial,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1979 hlm:142
[6] Riyadi Soeprapto, interaksionisme
simbolik (perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001) hlm.145
[7] Tri Dayakisni Hudaniah, psikologi
sosial,(Malang: UMM Press,2009) hlm.119
[8] Riyadi Soeprapto, interaksionisme
simbolik (perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001)
hlm.146
[9] Gerungan, psikologi sosial,(Bandung:
Refika Aditama,2009)hal.26
[10] Riyadi Soeprapto, interaksionisme
simbolik (perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001)
hlm.146
[11] Ibid hlm.148
[12] Slamet Santoso, teori-teori psikologi
sosial,(Bandung: Refika Aditama,2010) hlm.220
[13] Riyadi Soeprapto, interaksionisme
simbolik (perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001)
hlm.148
[14] Goodman, Douglas. J.Teori
Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2007) hlm.289
[15] Rachmad K. Dwi Susilo, 20 tokoh
sosiologi modern,(Jogjakarta:Ar-ruz Media,2008) hlm:77
[16] Riyadi Soeprapto, interaksionisme
simbolik (perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001) hlm
112
[17] Ibid hlm 114
[18] Ibid hlm:114
[19] Rachmad K. Dwi Susilo, 20 tokoh
sosiologi modern,(Jogjakarta:Ar-ruz Media,2008) hlm:59
[20] Ibid hlm:116
[21] http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/pragmatisme-john-dewey/
[22] Riyadi Soeprapto, interaksionisme
simbolik (perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001) hlm
109
[23] Rachmad K. Dwi Susilo, 20 tokoh
sosiologi modern,(Jogjakarta:Ar-ruz Media,2008) hlm:163
[24] Soeprapto, interaksionisme simbolik
(perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001) hlm:121
[25] Ibid hlm122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar